Menggugat Hegemoni Antroposentrisme Melalui Dekonstruksi Hermeneutika Ekologis
DOI:
https://doi.org/10.54154/dekonstruksi.v11i03.319Keywords:
Antroposentrisme, Krisis Lingkungan, Perubahan iklim, Etika Ekologi, Keberlanjutan, KeadilanAbstract
Krisis iklim dan kehancuran alam akhir-akhir ini merupakan gejala multidimensi yang tidak cukup dipahami dengan pendekatan ilmiah dan teknokratik semata. Perlu adanya kajian secara filosofis akar dari krisis tersebut, yaitu dominasi paradigma antroposentris terhadap relasi manusia dan alam. Dengan analisis filsafat ekologi, etika lingkungan, hermeneutika, ekofenomenologi, serta antroposentrisme, artikel ini berusaha untuk membongkar cara berpikir yang menempatkan manusia sebagai sentral eksistensi dan mengobjektifikasi alam layaknya sumber daya privat. Tulisan ini hendak menegaskan, bahwasannya keberlanjutan ekologi menuntut pembalikan paradigma menuju etika biosentris dan teosentris, serta mengajukan kritik atas diskursus pembangunan berkelanjutan yang masih terjebak di balik logika kapitalistik dan modernisme. Melalui telaah teoritis dan kajian literatur atas kehancuran lingkungan di negara-negara dunia ketiga–terkhususnya Indonesia, artikel ini memperlihatkan jika kehancuran ekosistem di abad-21 merupakan bagian dari krisis cara berpikir manusia itu sendiri; antroposentris, ekstraktif, dan kapitalis. Maka dari itu, menuju transisi yang berkelanjutan, perlu revolusi ontologis dan etis dengan memandang alam dan kehidupan di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, subjek bukan objek eksploitasi.